Batu mulia darah Kristus yang cukup langka, ditemukan di sekitar aliran Sungai Gintung yang merupakan salah satu anak Sungai Klawing, di Kabupaten Purbalingga. Batu yang cukup diincar kalangan bangsawan Prancis itu ditemukan oleh ahli geologi Institut Teknologi Bandung Budi Brahmantyo dan Sekretaris Jenderal Masyarakat Batu Mulia Indonesia , Sujatmiko, dengan dibantu puluhan mahasiswa Geologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Di sekitar aliran Sungai Gintung juga ditemukan banyak batu bertekstur pipih pada satu sisi dan tebal di sisi lain seperti kapak genggam. Diduga batu-batu itu adalah hasil buatan manusia masa pra-sejarah zaman neolitikum antara 5.000 sampai 10.000 tahun yang lalu.
Menurut Sujatmiko, temuan batu darah Kristus yang dikenal sebagai le sang du Christ di Prancis, merupakan temuan yang paling menarik. Selama ini, batu itu baru ditemukan di India, dan belum ditemukan di daerah lain di Indonesia.
Batu tersebut, memiliki ikatan emosional dengan umat Kristiani karena bercak merah pada batu jasper berwarna dasar hijau itu diyakini tetesan darah Yesus Kristus saat disalib. Karenanya bagi kalangan bangsawan Prancis, batu itu digunakan sebagai cap kebangsawanan.
"Saya pernah diminta oleh seorang bangsawan Prancis mencari batu darah Kristus itu. Tapi saat itu, saya tidak punya dan tak tahu mau dicari di mana," ucapnya.
Batu darah Kristus juga digunakan oleh ilmuwan kuno untuk mempelajari siklus matahari. Karenanya, batu itu dikenal sebagai heliotrop. Sementara bagi warga sekitar aliran Sungai Gintung di Desa Arenan, Kecamatan Kaligondang, batu darah Kristus dikenal sebagai nogo sui karena warnanya yang menarik.
Batu darah Kristus sebetulnya sudah menjadi buah bibir sejak tahun 1985 dengan nama populernya batu klawing. Namun karena baru sebatas buah bibir, kami pun tidak tahu pasti seperti apa batu klawing itu. Baru kali ini, ternyata batu klawing itu adalah batu darah Kristus.
Selain menyimpan batu mulia yang cukup langka, menurut ahli geologi ITB Budi Brahmantyo, Sungai Gintung juga menyimpan bebatuan hasil budaya neolitikum berupa kapak genggam untuk menetak maupun memukul.
"Namun untuk membuktikan aliran sungai itu merupakan situs budaya manusia masa pra-sejarah , harus didukung oleh pencarian kerangka manusia purba. Kalau memang ada, aliran sungai itu harus dikonservasi sebagai situs arkeologi," kata Budi yang juga Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata ITB.
Sementara, di sepanjang aliran Sungai Gintung hingga kawasan muaranya di Sungai Klawing, cukup banyak ditemukan penggalian batu dan pasir. Hal itu pun dilegalkan oleh pemerintah daerah setempat. "Jangan sampai batu-batu berharga ini ikut diambil oleh para penggali batu dan pasir. Temuan ini harus segera ditindaklanjuti," kata Budi.
Setelah memperoleh laporan temuan tersebut, Bupati Triyono Budi Sasongko mengaku, sama sekali tidak mengetahui kalau Sungai Gintung menyimpan batu-batu mulia dan artefak neolitikum cukup berharga. "Masalahnya, kami kan tidak tahu macam-macam batu sungai. Tetapi d engan adanya hasil laporan temuan ini, tentu akan kami dukung untuk eksplorasi selanjutnya, termasuk untuk pembuatan museumnya.
Di sekitar aliran Sungai Gintung juga ditemukan banyak batu bertekstur pipih pada satu sisi dan tebal di sisi lain seperti kapak genggam. Diduga batu-batu itu adalah hasil buatan manusia masa pra-sejarah zaman neolitikum antara 5.000 sampai 10.000 tahun yang lalu.
Menurut Sujatmiko, temuan batu darah Kristus yang dikenal sebagai le sang du Christ di Prancis, merupakan temuan yang paling menarik. Selama ini, batu itu baru ditemukan di India, dan belum ditemukan di daerah lain di Indonesia.
Batu tersebut, memiliki ikatan emosional dengan umat Kristiani karena bercak merah pada batu jasper berwarna dasar hijau itu diyakini tetesan darah Yesus Kristus saat disalib. Karenanya bagi kalangan bangsawan Prancis, batu itu digunakan sebagai cap kebangsawanan.
"Saya pernah diminta oleh seorang bangsawan Prancis mencari batu darah Kristus itu. Tapi saat itu, saya tidak punya dan tak tahu mau dicari di mana," ucapnya.
Batu darah Kristus juga digunakan oleh ilmuwan kuno untuk mempelajari siklus matahari. Karenanya, batu itu dikenal sebagai heliotrop. Sementara bagi warga sekitar aliran Sungai Gintung di Desa Arenan, Kecamatan Kaligondang, batu darah Kristus dikenal sebagai nogo sui karena warnanya yang menarik.
Batu darah Kristus sebetulnya sudah menjadi buah bibir sejak tahun 1985 dengan nama populernya batu klawing. Namun karena baru sebatas buah bibir, kami pun tidak tahu pasti seperti apa batu klawing itu. Baru kali ini, ternyata batu klawing itu adalah batu darah Kristus.
Selain menyimpan batu mulia yang cukup langka, menurut ahli geologi ITB Budi Brahmantyo, Sungai Gintung juga menyimpan bebatuan hasil budaya neolitikum berupa kapak genggam untuk menetak maupun memukul.
"Namun untuk membuktikan aliran sungai itu merupakan situs budaya manusia masa pra-sejarah , harus didukung oleh pencarian kerangka manusia purba. Kalau memang ada, aliran sungai itu harus dikonservasi sebagai situs arkeologi," kata Budi yang juga Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata ITB.
Sementara, di sepanjang aliran Sungai Gintung hingga kawasan muaranya di Sungai Klawing, cukup banyak ditemukan penggalian batu dan pasir. Hal itu pun dilegalkan oleh pemerintah daerah setempat. "Jangan sampai batu-batu berharga ini ikut diambil oleh para penggali batu dan pasir. Temuan ini harus segera ditindaklanjuti," kata Budi.
Setelah memperoleh laporan temuan tersebut, Bupati Triyono Budi Sasongko mengaku, sama sekali tidak mengetahui kalau Sungai Gintung menyimpan batu-batu mulia dan artefak neolitikum cukup berharga. "Masalahnya, kami kan tidak tahu macam-macam batu sungai. Tetapi d engan adanya hasil laporan temuan ini, tentu akan kami dukung untuk eksplorasi selanjutnya, termasuk untuk pembuatan museumnya.