Takengon, Aceh Tengah, memang gudangnya batu. Bagaimana tidak, secara geografis kawasan perbukitan yang terletak pada ketinggian antara 1.200 – 1.700 Meter dari permukaan laut (Mdpl) dengan beberapa aliran sungainya menyimpan segudang jenis batu. Salah satunya adalah jenis Batu Giok. Sehingga tak ayal dalam kurun waktu enam bulan terakhir kawasan ini diramaikan oleh para kolektor batu dari dalam negeri maupun luar.
Akibatnya perburuan batu indah yang diduga dilakukan secara illegal ini kian ‘menggila’ di sana. Terutama di Kec. Linge dan sebagian kecil di Kec. Atu Lintang dan Jagong Jeget. Bahkan, selain penduduk lokal ‘menjarahnya’, para kolektor juga datang menyambanginya.
Tamu tak diundang itu diduga dengan sengaja menyantroni kekayaan alam di tanah Gayo ini. Kehadiran pemburu batu tersebut bak makhluk halus, tak pernah mengenal waktu, bukan hanya siang tapi juga malam. Mereka tiba-tiba muncul bergentayangan, dan Seketika hilang tanpa jejak setelah mendapat batu buruannya.
Konon, karena spesialnya nilai batu alam ini, mulai tercium adanya indikasi maraknya praktek penyeludupan ke luar daerah Gayo, meski sebagian diantaranya masih ada tersisa dan beredar di pasar lokal. Harganya juga cukup bervariatif, mulai dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Tergantung jenis dan kualitas batu.
Ironinya, tingginya minat pemburu ‘gelap’ (kolektor) terhadap batu mulia, menyebabkan sebagian warga mulai banting setir, yang semula berprofesi sebagai petani kini jadi peburu batu. Tak tanggung-tanggung, demi mendapatkan ‘segenggam permata’ ada yang rela meninggalkan anak dan istri di rumah selama berhari-hari.
“Untuk berburu batu, kadangkala kami menghabiskan waktu berhari-hari. Walau penghasilan kami belum jelas karena tidak ada standar nilai jual, namun ada saja hasil yang dibawa pulang,” kata Hasan, seorang peburu batu di Linge.
Berdasarkan penuturannya, guna mendapatkan batu mulia terutama jenis giok, dia bersama teman- temannya, harus rela menelusuri belantara rimba. Meninggalkan anak dan istri di rumah. Kemudian, menuju salah satu lokasi di mana ditemukan batu giok di Linge. Di mana sebelumnya areal tersebut diperkirakan terdapat 5 ton giok. Namun kondisinya saat ini sudah hampir habis.
“Jalur kami dalam mencari batu dimulai dari Kp. Lumut menuju Kp. Kelampo (lokasi giok), biasanya mencapai tujuan dimaksud, kita harus berjalan kaki selama 2 hari. Namun, karena sekitar 5 ton giok di sana sudah habis ditambang. Kini, pencari batu mulai beralih ke Wih Nukem. Areal baru ini kabarnya terdapat sekitar 8 ton bongkahan batu giok.”
“Menuju Wih Nukem ini sendiri, membutuhkan waktu tiga hari perjalanan darat dari arah Kp. Kelampo, dengan melintasi medan rumit. Pencari giok ke sana harus melalui jalur setapak, melewati bukit curam, pematang, derasnya arus sungai serta hutan perawan. Lokasi ini, awalnya ditemukan oleh para pencari rotan,” jelasnya.
Untuk memotong bongkahan batu, mereka mengunakan alat tradisional berupa gergaji besi dan pahat. “Alat-alat tersebut digunakan untuk mengambil contoh batu saja. Artinya, jika batunya positif ada yang membeli, maka kolektorlah yang langsung memberikan alat lebih canggih seperti mesin pemotong bongkahan,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Hanafiah, pencari dan penghobi batu asal Kota Takengon. Menurutnya, tingginya minat kolektor untuk mendapatkan batu dari hasil alam dari Gayo,ini karena kualitasnya sangat baik. Di mana ukuran kekerasan batu mencapai 7,8 MOHS.
“Saat ini di Linge, khususnya Kp. Lumut, Owak, Kala Ili, Jamat dan Lane, nyaris di setiap rumah menyimpan batu cincin yang kondisinya masih berupa bongkahan (rough). Jenisnya juga cukup bervariasi, bukan hanya giok lumut atau jenis timun, namun ada juga solar, idocrase (giok langka/super) dan spotlight (giok untuk perhiasan),” katanya.
Harga batu ‘mentah’ hasil temuan para pencari ini juga dijual dengan nilai beragam oleh warga. Khusus giok, kolektor menawarnya Rp250.000-Rp450.000 per kilogram. Sedang jenis solar, di patok dengan harga jutaan rupiah, tergantung kualitas serta besar atau kecilnya bongkahan yang ditemukan.
“Kolektor yang datang bukan saja dari wilayah Aceh seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa dan Biruen, namun ada yang dari Medan dan Pulau Jawa. Mereka kerap membeli barang incarannya langsung dari warga lokal, pencari batu,” ujarnya.
Terpisah, terkait soal maraknya perambahan batu mulia di Gayo Lut ini, Kadis Energi Sumber Daya dan Meneral (ESDM) Aceh Tengah, Munzir, saat dimintai Waspada keterangannya, memberikan pernyataan mencegangkan. Dikatakan, pihaknya tidak melarang adanya pengambilan jenis batu-batu mulia ini. Namun, jangan sampai merusak alam dan lingkungan di sekitarnya.
“Tak ada persoalan, jika ada warga mencari batu giok dan jenis lainnya untuk menopang ekonomi keluarganya. Saya kira lebih baik mereka mencari batu-batu tersebut dari pada menambang emas dengan menggunakan mercuri yang sifatnya bisa merusak lingkungan,” sebutnya.
Apa ada aturan mengikat atau melarang? Munzir menjelaskan, setiap harta kekayaan negara tentunya dilindungi undang-undang. Namun mengenai bebatuan mulia ini sifatnya belum penambangan, tapi masih sebatas pengambilan bongkahan di darat.
Selanjutnya, ditanya soal maraknya penyeludupan batu khususnya untuk sample, Munzir menambahkan hal itu tidak benar. “Tidak mungkin kalau batu seperti giok bisa keluar daerah. Kalaupun benar, tentunya sudah ada yang tertangkap tangan oleh petugas. Paling tidak jika ada yang membawanya via bandara. Jadi, tidak benar itu, kalau batu dari daerah ini telah diseludupkan,” kilah Munzir.
Menurut dia, guna membantu masyarakat melalui adanya jenis batu berharga ini, pihaknya akan membina pengrajin batu. Sehingga batu-batu tersebut bisa dijadikan perhiasan yang nantinya bisa bernilai jual lebih tinggi. Dengan begitu diharap warga tidak lagi menjualnya secara sembarangan ke kolektor lokal maupun luar daerah.
“Kami telah mendata kemudian memanggil beberapa tukang batu untuk dibina. Dengan begitu keberadaan batu yang diincar warga di Linge bisa dijadikan sebagai bahan perhiasan bagi masyarakat. Hal ini merupakan bagian dari salah satu upaya yang akan kami lakukan,” sebutnya.
Akibatnya perburuan batu indah yang diduga dilakukan secara illegal ini kian ‘menggila’ di sana. Terutama di Kec. Linge dan sebagian kecil di Kec. Atu Lintang dan Jagong Jeget. Bahkan, selain penduduk lokal ‘menjarahnya’, para kolektor juga datang menyambanginya.
Tamu tak diundang itu diduga dengan sengaja menyantroni kekayaan alam di tanah Gayo ini. Kehadiran pemburu batu tersebut bak makhluk halus, tak pernah mengenal waktu, bukan hanya siang tapi juga malam. Mereka tiba-tiba muncul bergentayangan, dan Seketika hilang tanpa jejak setelah mendapat batu buruannya.
Konon, karena spesialnya nilai batu alam ini, mulai tercium adanya indikasi maraknya praktek penyeludupan ke luar daerah Gayo, meski sebagian diantaranya masih ada tersisa dan beredar di pasar lokal. Harganya juga cukup bervariatif, mulai dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Tergantung jenis dan kualitas batu.
Ironinya, tingginya minat pemburu ‘gelap’ (kolektor) terhadap batu mulia, menyebabkan sebagian warga mulai banting setir, yang semula berprofesi sebagai petani kini jadi peburu batu. Tak tanggung-tanggung, demi mendapatkan ‘segenggam permata’ ada yang rela meninggalkan anak dan istri di rumah selama berhari-hari.
“Untuk berburu batu, kadangkala kami menghabiskan waktu berhari-hari. Walau penghasilan kami belum jelas karena tidak ada standar nilai jual, namun ada saja hasil yang dibawa pulang,” kata Hasan, seorang peburu batu di Linge.
Berdasarkan penuturannya, guna mendapatkan batu mulia terutama jenis giok, dia bersama teman- temannya, harus rela menelusuri belantara rimba. Meninggalkan anak dan istri di rumah. Kemudian, menuju salah satu lokasi di mana ditemukan batu giok di Linge. Di mana sebelumnya areal tersebut diperkirakan terdapat 5 ton giok. Namun kondisinya saat ini sudah hampir habis.
“Jalur kami dalam mencari batu dimulai dari Kp. Lumut menuju Kp. Kelampo (lokasi giok), biasanya mencapai tujuan dimaksud, kita harus berjalan kaki selama 2 hari. Namun, karena sekitar 5 ton giok di sana sudah habis ditambang. Kini, pencari batu mulai beralih ke Wih Nukem. Areal baru ini kabarnya terdapat sekitar 8 ton bongkahan batu giok.”
“Menuju Wih Nukem ini sendiri, membutuhkan waktu tiga hari perjalanan darat dari arah Kp. Kelampo, dengan melintasi medan rumit. Pencari giok ke sana harus melalui jalur setapak, melewati bukit curam, pematang, derasnya arus sungai serta hutan perawan. Lokasi ini, awalnya ditemukan oleh para pencari rotan,” jelasnya.
Untuk memotong bongkahan batu, mereka mengunakan alat tradisional berupa gergaji besi dan pahat. “Alat-alat tersebut digunakan untuk mengambil contoh batu saja. Artinya, jika batunya positif ada yang membeli, maka kolektorlah yang langsung memberikan alat lebih canggih seperti mesin pemotong bongkahan,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Hanafiah, pencari dan penghobi batu asal Kota Takengon. Menurutnya, tingginya minat kolektor untuk mendapatkan batu dari hasil alam dari Gayo,ini karena kualitasnya sangat baik. Di mana ukuran kekerasan batu mencapai 7,8 MOHS.
“Saat ini di Linge, khususnya Kp. Lumut, Owak, Kala Ili, Jamat dan Lane, nyaris di setiap rumah menyimpan batu cincin yang kondisinya masih berupa bongkahan (rough). Jenisnya juga cukup bervariasi, bukan hanya giok lumut atau jenis timun, namun ada juga solar, idocrase (giok langka/super) dan spotlight (giok untuk perhiasan),” katanya.
Harga batu ‘mentah’ hasil temuan para pencari ini juga dijual dengan nilai beragam oleh warga. Khusus giok, kolektor menawarnya Rp250.000-Rp450.000 per kilogram. Sedang jenis solar, di patok dengan harga jutaan rupiah, tergantung kualitas serta besar atau kecilnya bongkahan yang ditemukan.
“Kolektor yang datang bukan saja dari wilayah Aceh seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa dan Biruen, namun ada yang dari Medan dan Pulau Jawa. Mereka kerap membeli barang incarannya langsung dari warga lokal, pencari batu,” ujarnya.
Terpisah, terkait soal maraknya perambahan batu mulia di Gayo Lut ini, Kadis Energi Sumber Daya dan Meneral (ESDM) Aceh Tengah, Munzir, saat dimintai Waspada keterangannya, memberikan pernyataan mencegangkan. Dikatakan, pihaknya tidak melarang adanya pengambilan jenis batu-batu mulia ini. Namun, jangan sampai merusak alam dan lingkungan di sekitarnya.
“Tak ada persoalan, jika ada warga mencari batu giok dan jenis lainnya untuk menopang ekonomi keluarganya. Saya kira lebih baik mereka mencari batu-batu tersebut dari pada menambang emas dengan menggunakan mercuri yang sifatnya bisa merusak lingkungan,” sebutnya.
Apa ada aturan mengikat atau melarang? Munzir menjelaskan, setiap harta kekayaan negara tentunya dilindungi undang-undang. Namun mengenai bebatuan mulia ini sifatnya belum penambangan, tapi masih sebatas pengambilan bongkahan di darat.
Selanjutnya, ditanya soal maraknya penyeludupan batu khususnya untuk sample, Munzir menambahkan hal itu tidak benar. “Tidak mungkin kalau batu seperti giok bisa keluar daerah. Kalaupun benar, tentunya sudah ada yang tertangkap tangan oleh petugas. Paling tidak jika ada yang membawanya via bandara. Jadi, tidak benar itu, kalau batu dari daerah ini telah diseludupkan,” kilah Munzir.
Menurut dia, guna membantu masyarakat melalui adanya jenis batu berharga ini, pihaknya akan membina pengrajin batu. Sehingga batu-batu tersebut bisa dijadikan perhiasan yang nantinya bisa bernilai jual lebih tinggi. Dengan begitu diharap warga tidak lagi menjualnya secara sembarangan ke kolektor lokal maupun luar daerah.
“Kami telah mendata kemudian memanggil beberapa tukang batu untuk dibina. Dengan begitu keberadaan batu yang diincar warga di Linge bisa dijadikan sebagai bahan perhiasan bagi masyarakat. Hal ini merupakan bagian dari salah satu upaya yang akan kami lakukan,” sebutnya.