Batu mulia jenis spritus atau biru langit akhir-akhir ini menjadi buruan masyarakat Bumi Sebimbing Sekundang. Kekerasan dan corak warna batu yang indah membuat kolektor luar kota berani menghargai batu khas Ogan Komering Ulu (OKU) ini Rp 150 juta untuk batu seukuran ibu jari kaki bayi.
Namun demikian, bukanlah hal mudah untuk mendapatkan batu ini. Para penggali harus berjalan kaki menembus hutan berbukit sekitar satu jam. Mereka juga harus menggali sapai kedalaman lima meter. Itupun bukan jaminan untuk mendapatkan batu mulia berkualitas bagus.
"Bukan jaminan menggali dalam. Bahkan meski kami sudah menggali sedalam lima meter lahan seluas 20 meter x 20 meter, belum tentu dapat batu spritus kualitas super. Bahkan juga bisa tidak ada sama sekali. Penggalian paling dalam 5 meter. Kalau lebih dari itu percuma, sebab sudah menembus batu jenis karang, bukan batu akik," kata seorang penggali batu spritus di Desa Simpang Empat, Talang Ogan, Lengkiti, Kolmilin.
"Tanah di sini jadi rebutan. Bahkan tauke-tauke yang di baturaja berani beli lahan di sini. Dulu lahan di sini diperjual belikan Rp 50 juta-Rp 70 juta per hektare kepada penggali dari luar," katanya.
Karena warga takut tidak bisa memanfaatkan lahan, mereka sekarang memberlakukan sistem sewa. Harga sewa Rp 8 juta-Rp 10 juta untuk satu kali menggali lahan berukuran 20 meter x 20 meter, dan syaratnya hanya boleh menggali sedalam 5 meter.
"Warga tidak mau lagi memperjual belikan lahan mereka. Sekarang hanya untuk disewakan saja," kata Kolimin.
Yadi penggali lainnya, mengaku, dalam sehari mereka mampu mendapatkan sekitar setengah karung beras 15 kilogram. Batu itu tidak semua bagus. Bahkan, sering kali dalam satu karung itu tidak bisa dibentuk karena rusak. Atau bahasa pengrajin batu bergaram.
"Kalau bahasa kami di sini garaman atau di dalam batu terjadi retak seribu. Rata-rata penggali batu di sini memiliki dinamo gerinda untuk mengasah dan membentuk batu. Jika mengupah untuk membentuk batu Rp 15 ribu - Rp 20 ribu per biji ukuran maksimal sebesar jempol orang dewasa," katanya.
Disinggung mengenai pendapatan dari menggali batu ini, kata mereka tidak tentu. Mulai dari Rp 200 ribu-Rp 1 juta perhari. Biasanya ada pengepul dari Baturaja yang datang ke Lengkiti ini untuk membeli batu spritus hasil galian mereka.
"Nasib-nasiban, kalau nasib baik. Kalau nasib belum beruntung bisa saja dalam satu minggu tidak dapat hasil apa-apa," kata Yadi.
Ketua Komunitas Batu Akik Baturaja, Hendra A Styawan mengatakan, batu spritus asal Baturaja menjadi lirikan kolektor batu dalam dan luar negeri.
Buktinya, pada waktu seminar dan Pameran Batu Akik Nusantara yang digelar kemarin, kolektor Batu asal Jakarta Candra, menawar batu spritus asli baturaja berukuran 30x27x17 milimeter atau sebesar ibu jari kaki bayi milik Jefri, kolektor asal Lampung, seharga Rp 150 juta.
"Tawaran itu Rp 150 juta itu tidak diterima Jefri pada saat lelang. Batunya memang tidak terjual, karena si pemilik baru mau melepas batu kepunyaannya seharga Rp 250 juta," kata Hendra.
Hendra menjelaskan, saat itu ia ikut seminar dan pameran batu yang di ikuti peserta dari seluruh penjuru Indonesia. Mulai dari Aceh-Papua. Peserta, luar negeri juga ada yang hadir. Yakni, Taiwan, Korea, Cina dan Jepang.
"Alhamduillah, batu spritus kita masuk katagori batu yang berkualitas. Tingkat kekerasan batu paling baik dibanding batu asal daerah lain, yakni 7 mohs," ungkapnya.
Bahkan, kata Hendra saat ia mengikuti seminar dan pameran batu mewakili Baturaja, ia mampu menjual sekitar 300 biji lebih batu jenis spritus dan lavender.
"Kualitas yang saya bawa waktu itu bukan kualitas super, melainkan masih batu-batu standar. Namun meski demikian cukup diminati. Batu-batu seukuran biji salak itu kami jual Rp 2 juta-Rp 2,5 juta per biji," katanya.
Hendra saat itu membawa beberapa jenis batu di antaranya spritus atau biru langit, l.avender, sankis, sulaiman, dan beberapa jenis batu lainnya. Menurut dia, dari sekian banyak batu tersebut yang paling diminati batu lavender dan spritus.
Maraknya pencinta batu di Bumi Sebimbing Sekundang berdampak baik bagi pengasah batu dan penjual ring atau gagang cincin yang terbuat dari alpaka. Sehari pengasah batu mampu meraup ratusan ribu rupiah.
"Sekali mengasah Rp 10 ribu. Sehari paling banyak 50 biji batu. Selebih dari itu saya tidak sanggup. Rata-rata sehari 25 batu saya asah menggunakan dinamo dan gerinda. Modal saya Rp 1,5 juta untuk beli alat. Alhamduillah, selama enam bulan mengasah batu modal sudah kembali dan mendapatkan untuk. Alhamduillah hasilnya cukup menjanjikan," kata Teddy seorang pengrajin pengasah batu akik.
Namun demikian, bukanlah hal mudah untuk mendapatkan batu ini. Para penggali harus berjalan kaki menembus hutan berbukit sekitar satu jam. Mereka juga harus menggali sapai kedalaman lima meter. Itupun bukan jaminan untuk mendapatkan batu mulia berkualitas bagus.
"Bukan jaminan menggali dalam. Bahkan meski kami sudah menggali sedalam lima meter lahan seluas 20 meter x 20 meter, belum tentu dapat batu spritus kualitas super. Bahkan juga bisa tidak ada sama sekali. Penggalian paling dalam 5 meter. Kalau lebih dari itu percuma, sebab sudah menembus batu jenis karang, bukan batu akik," kata seorang penggali batu spritus di Desa Simpang Empat, Talang Ogan, Lengkiti, Kolmilin.
"Tanah di sini jadi rebutan. Bahkan tauke-tauke yang di baturaja berani beli lahan di sini. Dulu lahan di sini diperjual belikan Rp 50 juta-Rp 70 juta per hektare kepada penggali dari luar," katanya.
Karena warga takut tidak bisa memanfaatkan lahan, mereka sekarang memberlakukan sistem sewa. Harga sewa Rp 8 juta-Rp 10 juta untuk satu kali menggali lahan berukuran 20 meter x 20 meter, dan syaratnya hanya boleh menggali sedalam 5 meter.
"Warga tidak mau lagi memperjual belikan lahan mereka. Sekarang hanya untuk disewakan saja," kata Kolimin.
Yadi penggali lainnya, mengaku, dalam sehari mereka mampu mendapatkan sekitar setengah karung beras 15 kilogram. Batu itu tidak semua bagus. Bahkan, sering kali dalam satu karung itu tidak bisa dibentuk karena rusak. Atau bahasa pengrajin batu bergaram.
"Kalau bahasa kami di sini garaman atau di dalam batu terjadi retak seribu. Rata-rata penggali batu di sini memiliki dinamo gerinda untuk mengasah dan membentuk batu. Jika mengupah untuk membentuk batu Rp 15 ribu - Rp 20 ribu per biji ukuran maksimal sebesar jempol orang dewasa," katanya.
Disinggung mengenai pendapatan dari menggali batu ini, kata mereka tidak tentu. Mulai dari Rp 200 ribu-Rp 1 juta perhari. Biasanya ada pengepul dari Baturaja yang datang ke Lengkiti ini untuk membeli batu spritus hasil galian mereka.
"Nasib-nasiban, kalau nasib baik. Kalau nasib belum beruntung bisa saja dalam satu minggu tidak dapat hasil apa-apa," kata Yadi.
Ketua Komunitas Batu Akik Baturaja, Hendra A Styawan mengatakan, batu spritus asal Baturaja menjadi lirikan kolektor batu dalam dan luar negeri.
Buktinya, pada waktu seminar dan Pameran Batu Akik Nusantara yang digelar kemarin, kolektor Batu asal Jakarta Candra, menawar batu spritus asli baturaja berukuran 30x27x17 milimeter atau sebesar ibu jari kaki bayi milik Jefri, kolektor asal Lampung, seharga Rp 150 juta.
"Tawaran itu Rp 150 juta itu tidak diterima Jefri pada saat lelang. Batunya memang tidak terjual, karena si pemilik baru mau melepas batu kepunyaannya seharga Rp 250 juta," kata Hendra.
Hendra menjelaskan, saat itu ia ikut seminar dan pameran batu yang di ikuti peserta dari seluruh penjuru Indonesia. Mulai dari Aceh-Papua. Peserta, luar negeri juga ada yang hadir. Yakni, Taiwan, Korea, Cina dan Jepang.
"Alhamduillah, batu spritus kita masuk katagori batu yang berkualitas. Tingkat kekerasan batu paling baik dibanding batu asal daerah lain, yakni 7 mohs," ungkapnya.
Bahkan, kata Hendra saat ia mengikuti seminar dan pameran batu mewakili Baturaja, ia mampu menjual sekitar 300 biji lebih batu jenis spritus dan lavender.
"Kualitas yang saya bawa waktu itu bukan kualitas super, melainkan masih batu-batu standar. Namun meski demikian cukup diminati. Batu-batu seukuran biji salak itu kami jual Rp 2 juta-Rp 2,5 juta per biji," katanya.
Hendra saat itu membawa beberapa jenis batu di antaranya spritus atau biru langit, l.avender, sankis, sulaiman, dan beberapa jenis batu lainnya. Menurut dia, dari sekian banyak batu tersebut yang paling diminati batu lavender dan spritus.
Maraknya pencinta batu di Bumi Sebimbing Sekundang berdampak baik bagi pengasah batu dan penjual ring atau gagang cincin yang terbuat dari alpaka. Sehari pengasah batu mampu meraup ratusan ribu rupiah.
"Sekali mengasah Rp 10 ribu. Sehari paling banyak 50 biji batu. Selebih dari itu saya tidak sanggup. Rata-rata sehari 25 batu saya asah menggunakan dinamo dan gerinda. Modal saya Rp 1,5 juta untuk beli alat. Alhamduillah, selama enam bulan mengasah batu modal sudah kembali dan mendapatkan untuk. Alhamduillah hasilnya cukup menjanjikan," kata Teddy seorang pengrajin pengasah batu akik.