Demam akik bikin warga Tomang sering meriung di trotoar Jalan Mandala Raya dalam satu bulan paling akhir. Di situ teronggok batu seukuran almari yang telah bocel dipahat permukaannya. “Ini giok dari Aceh, ” kata Wandi, 34 th., tukang ojek sepeda motor yang umum mangkal di jalan itu, tempo hari.
Wandi pernah memahat batu itu lantas memolesnya di tukang bubut akik, serta lalu menjualnya. “Lumayan, ada yang menawar Rp 600 ribu, ” ucapnya. Di kelompok pencinta akik, batu yang dihargai sebesar itu lumayan berkelas—meski tidak ada patokan resmi harga-harga batu yang tengah naik daun itu.
Batu itu sekilas seperti batu cor. Tetapi, kata Wandi, bila dipahat serta diserut, batu beralih jadi hijau bercahaya. Untuk beberapa pencinta akik di Jawa, batu giok seperti itu lumayan langka lantaran tidak sering diketemukan. Wandi meyakini batu itu dari Aceh lantaran rekannya sesama pencinta akik menyetujui bahwa batu itu datang dari Tanah Rencong.
Menurut Wandi, batu itu saat ini tinggal separuh lantaran nyaris sepanjang 24 jam setiap hari dipahat beberapa orang. Kerumunan orang itu juga bikin macet Jalan Mandala dari arah Tomang Raya maupun Sumber Waras di Jakarta Barat. “Sampai tumpah ke jalan lantaran orang tidur sampai larut malam antre mengambilnya, ” kata laki-laki 34 th. ini.
Tidak ada yang tahu bagaimanakah batu itu dapat ujuk-ujuk ada di trotoar. Wandi mendengar narasi bahwa awalannya batu itu ada dirumah kosong di sampingnya. Rumah bobrok itu telah lama ditinggalkan penghuninya, seseorang pakar keris yang di kenal bernama Begug, geser ke Wonogiri, Jawa Tengah. Tak tahu siapa yang memindahkannya, batu itu mendadak ada di trotoar.
Saat ini Jalan Raya Mandala kembali seperti satu bulan lantas. Sepi dari kerumunan. Hal semacam itu lantaran Lurah Tomang Aji Kumala memindahkan batu itu ke kantor kelurahan pada Sabtu lantas. Aji kuatir batu itu tidak cuma bikin macet, namun juga semakin mengakibatkan kerusakan trotoar. “Sekarang saja telah kronis rusaknya, ” tuturnya.
Aji mengharapkan yang memiliki batu itu selekasnya menghubunginya. Ia akan meminta izin jadikan batu itu prasasti untuk dipasang di depan kelurahan.
Wandi pernah memahat batu itu lantas memolesnya di tukang bubut akik, serta lalu menjualnya. “Lumayan, ada yang menawar Rp 600 ribu, ” ucapnya. Di kelompok pencinta akik, batu yang dihargai sebesar itu lumayan berkelas—meski tidak ada patokan resmi harga-harga batu yang tengah naik daun itu.
Batu itu sekilas seperti batu cor. Tetapi, kata Wandi, bila dipahat serta diserut, batu beralih jadi hijau bercahaya. Untuk beberapa pencinta akik di Jawa, batu giok seperti itu lumayan langka lantaran tidak sering diketemukan. Wandi meyakini batu itu dari Aceh lantaran rekannya sesama pencinta akik menyetujui bahwa batu itu datang dari Tanah Rencong.
Menurut Wandi, batu itu saat ini tinggal separuh lantaran nyaris sepanjang 24 jam setiap hari dipahat beberapa orang. Kerumunan orang itu juga bikin macet Jalan Mandala dari arah Tomang Raya maupun Sumber Waras di Jakarta Barat. “Sampai tumpah ke jalan lantaran orang tidur sampai larut malam antre mengambilnya, ” kata laki-laki 34 th. ini.
Tidak ada yang tahu bagaimanakah batu itu dapat ujuk-ujuk ada di trotoar. Wandi mendengar narasi bahwa awalannya batu itu ada dirumah kosong di sampingnya. Rumah bobrok itu telah lama ditinggalkan penghuninya, seseorang pakar keris yang di kenal bernama Begug, geser ke Wonogiri, Jawa Tengah. Tak tahu siapa yang memindahkannya, batu itu mendadak ada di trotoar.
Saat ini Jalan Raya Mandala kembali seperti satu bulan lantas. Sepi dari kerumunan. Hal semacam itu lantaran Lurah Tomang Aji Kumala memindahkan batu itu ke kantor kelurahan pada Sabtu lantas. Aji kuatir batu itu tidak cuma bikin macet, namun juga semakin mengakibatkan kerusakan trotoar. “Sekarang saja telah kronis rusaknya, ” tuturnya.
Aji mengharapkan yang memiliki batu itu selekasnya menghubunginya. Ia akan meminta izin jadikan batu itu prasasti untuk dipasang di depan kelurahan.